LAMA YANG SAMA
Dini Rahma Putriani
Hi, ini Jenaka.
Jenaka yang sifatnya tidak se-Jenaka namanya.
Saat ini aku duduk dibangku SMA, semester akhir. Aku tergolong sebagai seorang siswi yang cukup aktif dalam kegiatan sekolah. Baik itu organisasi maupun olimpiade. Di masa putih abu ini, aku sudah menemukan jati diriku. Aku senang bertemu dengan orang baru. Aku senang berkomunikasi dan berdiskusi dengan orang. Tidak, bukan tentang materi matematika. Bukan pula materi kimia. Tapi tentang pengembangan diri dan pengalaman-pengalaman. Apapun itu. Intinya tidak tentang hitung menghitung.
Sejujurnya aku tidak tahu, apa hobi ku. Rasanya semua yang aku lakukan saat waktu luang dan dilakukan terasa menyenangkan, sepertinya aku sebut itu hobi. Biasanya aku menghabiskan waktu luangku untuk membaca berbagai cerita menarik di salah satu aplikasi orange. Aku sangat suka membaca. Tapi aku lebih suka membaca melalui handphone. Oh tidak. Aku sebenarnya sangat suka menulis sejak kecil. Namun, tidak terlalu aku kembangkan. Aku ingat , dulu aku menangis hanya karena ingin membeli buku diary keluaran terbaru. Pada buku itu, aku selalu menuangkan keseharianku. Pertemanan, dunia sekolah, pengalaman bahkan hal-hal kecil, baik itu yang terjadi diluar maupun dirumah. Dan satu lagi. Aku akan mengerjakan suatu hal dengan ditemani oleh playlist yang telah kubuat melalui Spotify.
Tidak sedikit orang bilang aku orang yang serius. Orang yang baru bertemu dengan ku akan menyangka aku adalah orang yang judes. Tapi aku merasa biasa saja. Aku masih bisa melempar candaan dengan orang yang ku kenal. Aku masih bisa tersenyum. Aku seperti orang lain pada umumnya. Teman-teman ku mengatakan hal yang sama pula. Dan mereka telah menemukan jawaban atas pandangan orang lain tadi. Mata dan alis. Ya, itu. Menurut mereka mata dan alis yang aku miliki tajam, sehingga saat bertatapan akan terasa mengintimidasi.
Jenaka..Jenaka…
Aku tidak tahu, kenapa orang tuaku menyematkan nama itu pada tubuh ini. Tapi aku yakin, itu adalah sebuah doa' dari mereka.
Huft…
Rasanya sudah cukup lama aku tidak menulis cerita. Apalagi tentang diri sendiri. Jadi, disini aku akan bercerita terkait pengalamanku. Bukan pengalaman organisasi. Bukan pula pengalaman olimpiade. Tapi suatu pengalaman yang pernah membuat mentalku sedikit goyah dan menimbulkan kesemrawutan dalam kepalaku. Mengingatnya, masih terasa sakit dan menyesakkan. Tapi bukankah ini hal baik jika aku menuangkannya dalam tulisan agar hal itu dapat selalu ku kenang?
Sejak kecil, tepatnya saat SD, badanku memanglah tergolong cukup gemuk (ya, aku menyebutnya begitu). Aku tidak tahu itu menurun dari siapa, karena Umma dan Abba bahkan memiliki badan yang ideal, tidak gemuk sama sekali. Tapi ternyata, setelah aku amati, aku menemukan jawabannya.
Abba memiliki banyak saudara. Dan rata-rata semua keponakan Abba yang perempuan memiliki badan yang gemuk dan lebih mengembang. Sedangkan laki-laki, tumbuh seperti biasanya.
Dulu saat aku kecil, tidak paham dengan ucapan orang-orang yang selalu mengatakan ku gemuk. Namun saat itu, aku duduk di bangku kelas 4 SD. Aku merasa ada beberapa ucapan dari orang yang menyinggung perasaanku terkait keadaanku saat itu. Salah satu orang wanita berkata 'Masih kelas 4, sudah sebesar ini. Bagaimana nanti?'. Saat itu aku bingung. Maksudnya apa? Dan setelah dipikir-pikir aku menyimpulkan, mereka mengejek keadaanku secara tidak langsung.
Aku tidak peduli jika orang lain berkata itu hanya kalimat sederhana dan mengatakan aku ‘baperan’. Tapi bagiku, itu adalah salah satu kalimat pertama kali, yang membuatku sadar bahwa orang dewasa itu tidak semuanya baik. Wanita itu, tidak hanya satu atau dua kali mengatakan hal yang sama setiap bertemu denganku. Sehingga seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan sikap orang itu, dan tidak mendengarkan apa yang dia ucapkan. Intinya, aku tidak peduli.
Hingga saat ini, ternyata jenis kalimatnya sudah bukan tentang badanku. Kalimat seperti dulu sudah hilang. Tapi lahir kalimat baru yang diucapkan oleh wanita itu. Aku menyadari, bahwa keadaan mata ku saat ini sangatlah jauh berbeda dengan dulu. Terhitung semenjak 1 tahun yang lalu, memang mulai muncul lingkaran hitam di bawah mataku. Kebanyakan orang menyebutnya mata panda.
Jadi, pada hari itu, aku bertemu dengan wanita yang sama. Kalimat yang pertama kali diucapkannya adalah ‘Jenaka, kok kamu terlihat beda ya. Rasanya matamu menjadi hitam dan bengkak seperti mayat hidup. Masa kamu tidak pernah tidur? Masih muda loh. Perjalanan masih jauh. Mata panda itu susah hilang. Kalau kayak gitu kan kelihatannya bukan seperti anak muda.’
Aku tahu. Tidak diberitahu pun aku sudah menyadarinya. Memang, belakangan itu banyak yang harus aku kerjakan sehingga membuatku mengorbankan waktu dan tenaga yang lebih extra. Dan ya, jam tidurku memang sedikit berkurang pula. Yang dulunya di jam 21.00 aku sudah menganyam mata, semenjak 1 tahun yang lalu, aku baru akan tidur ketika hal yang ku urus selesai. Biasanya di jam 22.30.
Sebenarnya tidak mengapa ada orang yang berkata seperti itu. Tapi situasi dan intonasinya lah yang salah. Wanita tadi, mengatakan kalimat itu saat kami berada di tempat umum dan banyak orang dengan intonasi yang tidak wajar. Dan itu…
Membuatku tidak nyaman dan cukup menyinggung perasaanku.
Rasanya.... cukup sakit. Menanggapi dengan senyuman adalah sebuah solusinya. Karena aku merasa, jika aku menjawabnya, dia akan terus memperdebatkannya. Aku rasa dia tidak memerlukan validasi atas hal yang terjadi pada diriku. Ini aku. Ini diriku. Kehidupanku. Orang lain hanya akan bersuara saja.
Tidak semua hal harus kita sampaikan kepada orang lain agar mereka memahami kita. Tidak semua orang paham apa yang kita alami.
Dan yang paling utama, tidak semua orang dapat melindungi mental orang lain sekalipun orang terdekatnya. Kita sebagai makhluk sosial, memang sudah sewajarnya merasakan hal seperti itu. Ketika ada hal menyakiti, kita harus dapat melihatnya dari sisi yang lain, bukan hanya segi yang menyakiti.
Hanya saja, bagaimana itu porsinya. Apakah menurut kita itu sudah melebihi batas wajar yang dapat dimaklumi, atau biasa saja.
Komentar
Posting Komentar