Sinar mentari di pagi hari menyinari wajah-wajah penuh semangat. Langkah dari sepatu hitam yang panjang tali sepatunya tidak sama pergi menuju ruang kelas di ujung sana. Dengan senyum yang merekah, langkah ini bergerak cepat. Ketika tubuhku sejajar dengan jendela-jendela itu, semakin jelas terdengar muda-mudi mengukir keceriaan, mencurahkan nada gema kehangatan di balik pintu kelas yang terbuka. Di antara bangku-bangku kelas yang tersusun rapi, mataku menjelajah pelan ke sekeliling ruang kelas yang masih sepi, terasa sunyi karena pagi baru menyapa. Selalu wajah-wajah itu yang kulihat setiap menapakkan kaki di daun pintu. Mereka yang menempuh perjalanan jauh demi setetes ilmu di ruang persegi ini, duduk melingkar berhadapan di sudut kelas, membalas sapaanku dengan tatapan hangat. Senyumku terukir, meskipun kadang bosan dengan panorama itu setiap pagi yang sama, namun, siapa tahu suatu hari wajah-wajah itu akan menjadi yang paling aku ingin lihat di pagi yang lain di masa depan. Barang-barang di bangku disusun rapi sebelum aku menyusup ke sisi mereka, lalu ikut terhanyut antara kata dan keluhan. Perbincangan mengalir dimulai tentang bencana alam di kampung halaman, membicarakan artis pop Korea, atau mungkin bahkan berdebat mengenai kekasih yang tak kunjung tiba—isu yang sensitif bagi kami, para jomlo sejak lahir.
Dan memang benar bahwa banyak yang menggambarkan masa SMA sebagai masa penuh asmara. Bagiku, perihal itu tidaklah sepenuhnya berlaku. Bagiku, hari-hari di SMA hanya berputar pada buku dan pena saja, sesekali berkumpul bersama teman-teman setelah selesai beribadah. Meskipun begitu, suatu kebohongan bila aku berkata bahwa masa remaja ini luput dari belenggu asmara, sebab benar adanya, ada seseorang yang pernah masuk ke dalam benakku di tengah puing-puing memori masa putih abu ini. Seseorang itu bukan seseorang yang luar biasa. Hanya seorang siswa biasa yang berhasil membuat pandanganku kabur selain pada dirinya. Bahkan di antara lautan manusia sekalipun, atensiku hanya tertuju padanya. Seperti diberi mantra sihir oleh Albus Dumbledore, dia yang berada jauh pun rasanya mata ini ditarik memandang menuju dirinya.
Dia memang tidak setampan Leonardo DiCaprio, namun bagiku, dia adalah perpaduan sempurna dari semua hal yang aku kagumi. Mungkin dia tidak dianggap sebagai laki-laki ideal bagi banyak orang, tapi bagiku, dia adalah segalanya. Perasaan itu mungkin hanya bersemi di dalam hatiku, tetapi kenangan tentangnya tetap membekas dalam ingatan, sebagai bagian tak terpisahkan dari masa SMA yang penuh warna dan indah. Namun, akhirnya terungkap juga bahwa hatinya sudah memiliki pemilik. Menerima kenyataan itu terasa begitu sulit, terutama bagi seseorang yang berharap untuk menemukan roman asmara manis seperti diriku. Meski hati ini masih menyangkal, namun bagaimana ia memamerkan kecantikan kekasihnya di media sosialnya membuat hatiku semakin merasa sesak. Memang, seharusnya aku memahami keterbatasan diri. Kisah manis masa SMA takkan mewarnai jalan hidupku, dan perlahan, aku menerima bahwa kebahagiaan takkan singgah padaku. Bahagia tampaknya bukanlah bagian dari takdirku.
Lagipula di masa putih abu-abu ini, tidaklah hanya kehadirannya yang akan membekas di dalam ingatanku, melainkan ada pula sejumlah momen indah yang teman-teman torehkan dalam catatan masa remajaku. Seperti pada pertemuan pertama kita dalam seragam putih abu-abu menjadi awal dari ikatan yang semakin erat di antara kita. Saat itu, suasana canggung menyelimuti. Beruntung setengah dari siswa di kelas berada dalam satu kelompok dalam tugas P5, seni teater. Saat itu, kami memilih untuk menampilkan kabaret sebagai pertunjukan. Pertemuan-pertemuan sering dilakukan untuk mempersiapkan hal itu. Dimulai dari kami yang menulis naskah hingga berlatih. Peranku dalam teater itu bukan sebagai seseorang yang penting, namun disanalah rasa kepedulianku tumbuh. Aku memang bukan sutradara seperti yang ada di TV, aku hanya seorang siswa kelas sepuluh yang memegang tanggung jawab atas kelompokku. Rasanya senang sekali mereka dapat berlakon dengan baik, melihat mereka tersenyum rasanya hatiku menghangat. Bayang-bayang akan seseorang yang ku ceritakan tadi rasanya perlahan-lahan memudar. Sepertinya Tuhan yang Maha Baik sedang memberikan kebahagiaanku lewat mereka. Tidak perlu tertawa untuk bahagia, namun kebersamaan bersama mereka membuatku tak ingin waktu segera petang, sebab hari-hari selanjutnya akan semakin mengikis jatah waktu bersama kita.
Hal lain yang akan aku rindukan ketika sudah lulus dari SMA adalah saat kita berkumpul di depan KOPWA sebelum kelas peminatan di mulai. Kelas peminatan itu melelahkan. Semua orang tau. Berpisah dengan teman-teman kelasku dan bertemu dengan orang-orang yang berbeda di setiap jam kelasnya. Sepertinya ikatan kita sudah melekat karena setiap pagi, kita akan bertemu di depan kopwa sebelum bel masuk dan kita harus berpisah ke kelas peminatan masing-masing. Dan ketika kelas peminatan telah berlalu, esoknya kita awali dengan sarapan bersama di wardu sambil berdialog mengenai peristiwa-peristiwa di kelas peminatan kemarin. Sepertinya, yang akan aku rindukan bukanlah hanya serangkaian kegiatan, melainkan momen berbagi cerita dan membicarakan percakapan yang menyenangkan. Bahkan terbersit keinginan untuk bermalam di sekolah, menikmati kebersamaan dengan teman-teman, berbincang-bincang tentang segala hal, karena jika di rumah, kehangatan itu tidak pernah terasa.
Jikalau ada kantong Doraemon, maka yang akan aku pinta adalah alat untuk memberhentikan waktu. Dengan begitu aku akan merasa lega. Seperti menari-nari di bawah hujan, kita berlarian menembus rinai hujan yang amat derasnya. Tak peduli petir menyambar, kita bagaikan tuli yang tak memerdulikan hal itu. Suara tawa riang kita menyatu dengan suara air hujan, bahkan tangis pun melebur menyatu dengan air hujan yang kita rayakan. Kehangatan yang menyeruak di antara dinginnya air hujan tidak selamanya seperti itu. Hujan pasti ada hentinya, dan kita akan pulang ke rumah masing-masing. Begitupun masa muda ini, ketika kita sedang berada dalam puncak kebebasan, masa muda itu tidak selamanya kekal. Masa muda adalah masa emas kita. Hujan memang sudah berlalu, namun jejak-jejak kita tetap abadi.
Selamat tinggal masa SMA, selamat tinggal masa muda.
-Zadwa Akmil Amalia
Komentar
Posting Komentar