Sufi Fitriani
Pertama-tama, izinkan aku membawamu kembali ke waktu yang
sulit, di mana kepercayaan pribadiku hancur dan menjadi pecahan-pecahan yang
sulit dipulihkan. Dulu, aku adalah seseorang yang sangat terbuka dan penuh
kepercayaan pada orang lain. Aku
Percaya bahwa berbagi cerita adalah cara untuk membangun
hubungan yang kuat dan saling mendukung. Tetapi, suatu hari, kepercayaanku
dihancurkan oleh pengalaman yang begitu pahit.
Aku merasa aman berbagi cerita pribadi dengan seseorang
yang seharusnya dapat kupercayai. Tanpa curiga, aku membuka hatiku,
menceritakan rahasia dan perasaan yang selama ini aku pendam, tetapi aku
mengabaikannya, percaya bahwa temanku akan menghargai kejujuran dan kelemahan
yang kusampaikan. Namun, harapan itu pupus ketika ceritaku tersebar tanpa
izinku. Aku menjadi bahan tertawaan, dan ejekan. Itu sangat menyakitkan hatiku
lebih dalam daripada yang bisa kubayangkan. Teman-teman yang kusangka akan
menjaga rahasiaku ternyata menjadi sumber penderitaan. Saat itulah, aku
merasakan perasaan percaya diri dan kepercayaan diriku hancur seketika.
Luka itu tidak hanya fisik, tetapi juga merusak
kepercayaanku pada manusia. Setiap
kali aku melihat orang, bayangan ketidakpercayaan dan rasa
takut merayap dalam diriku. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa percaya lagi,
apakah ada orang yang benar-benar dapat memahami dan menghargai aku tanpa
mengkhianati kepercayaanku. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merenung dan
mencoba memahami bagaimana bisa begini terjadi.
Apakah aku terlalu polos ataukah orang-orang di
sekitarku terlalu kejam? Pertanyaan itu menghantui pikiranku setiap hari,
mengobrak-abrik dalam kegelapan hatiku yang terluka. Aku mencoba mencari
jawaban, tapi yang kupetik hanyalah kebingungan. Kepala dan hatiku menjadi
pusat perang batin yang tak kunjung usai. Aku bertanya-tanya, apakah
kepercayaan itu hanyalah mimpi buruk yang menghancurkan hati, ataukah ada cara
untuk membangunnya kembali tanpa takut terluka lagi?. Beberapa kali, aku
mencoba untuk membuka hatiku lagi. Namun, setiap kali aku mendekati orang,
bayangan luka masa lalu itu selalu membayangi pikiranku. Aku menjadi pribadi
yang lebih tertutup, lebih hati-hati dalam memilih siapa yang bisa kubuka
hatiku. Kesempatan pertemanan dan cinta terabaikan, karena aku takut lagi
mengalami penderitaan yang sama. Saat itulah, aku menyadari bahwa proses
penyembuhan tidaklah instan. Aku perlu memberi diriku waktu dan membiarkan
diriku tumbuh dari puing-puing kepercayaan yang hancur.
Aku mulai memahami bahwa
tidak semua orang sama, dan bahwa penderitaan masa lalu tidak boleh
mengendalikan masa depanku. Perlahan-lahan, aku mulai membangun kembali
kepercayaanku. Aku belajar memilih orang-orang di sekitarku dengan bijak,
memberikan kepercayaan pada mereka yang telah membuktikan kesetiaan dan
keterbukaan. Meskipun butuh waktu, langkah-langkah kecil itu membantu aku
melangkah maju. Sekarang, aku tahu bahwa kepercayaan itu rapuh, Meskipun luka
masa lalu tetap ada, aku memilih untuk melihatnya sebagai pelajaran berharga.
Pengkhianatan itu bukanlah cerminan dari kelemahanku, melainkan dari
ketidaksetiaan orang lain. Aku belajar untuk tidak membiarkan masa lalu
menghantui masa depanku. Meski rasa takut kadang-kadang masih ada, aku memilih
untuk melangkah maju dan memberi kesempatan pada diriku untuk merasakan kebahagiaan
dan kepercayaan kembali. Setiap langkah kecil yang kucapai membawa aku lebih
dekat pada pemulihan diri, dan aku bertekad untuk tidak membiarkan bayangan
masa lalu menghalangi cahaya masa depanku.
Komentar
Posting Komentar